Kejahatan Seksual Terhadap Anak termasuk Kejahatan Paling Serius

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 288 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 293 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Senin (4/10/2021) siang. Agenda sidang untuk Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021 kali ini yakni mendengarkan keterangan Ahli Pemohon. 

Dalam persidangan secara daring, Ahli Hukum Acara Pidana dan Hukum Perlindungan Anak, Beniharmoni Harefa selaku Ahli Pemohon, memaparkan mengenai kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan. Perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak termasuk dalam kategori graviora delicta atau kejahatan paling serius. 

Kemudian, sambung Beni, dampak yang ditimbulkan akibat kejahatan seksual, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak sangatlah beragam dimulai dari dampak psikologis yakni trauma, dampak fisik seperti tertular penyakit, dampak cedera tubuh yang mana terdapat kerusakan organ internal, serta dampak sosial seperti dikucilkan dalam lingkungan sekitar bahkan hal ini pun berpotensi merusak masa depan korban. Kejahatan tersebut merupakan super mala per se, sangat jahat dan tercela, dan sangat dikutuk oleh masyarakat (people condemnation) baik nasional maupun internasional. 

Lebih lanjut Beni mengatakan, Pasal 293 ayat (2) KUHP yang menentukan frasa penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu merupakan kategori delik aduan absolut dimana perbuatan pidana hanya dapat diproses apabila ada aduan dari korban. Hal ini menjadi penghambat perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabat korban atas perbuatan pelaku. Korban yang mengalami goncangan psikis atas perbuatan cabul, persetubuhan yang terjadi, serta korban yang masih berusia anak, berpotensi tidak berani melaporkan pelaku, dan ini menghambat korban untuk menuntut pelaku.

Menurut Beni, Pasal 293 KUHP tidak jelas memberikan pernyataan umur atau usia berapa yang dimaksud dalam kategori belum dewasa. Bahkan dalam beberapa kasus sebagaimana diuraikan dalam permohonan Para Pemohon, masih terdapat penuntut umum yang memasukkan ketidakdewasaan berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana usia belum dewasa yaitu 21 tahun. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum, serta multitafsir dalam penerapan Pasal 293 KUHP. 

Sementara Pasal 288 KUHP frasa belum waktunya dikawini, belum memberikan penjelasan terkait batas usia belum waktunya dikawini. Sehingga hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan perdebatan dan multitafsir dalam tataran penerapan hukum mengenai seperti apa belum waktunya untuk dikawini? Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP, menurutnya sebaiknya merujuk pada Undang-Undang Perkawinan, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 7 ayat (1) menegaskan batas usia perkawinan baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.

Berdasarkan RUU KUHP versi September 2019, sambung Beni, perbuatan cabul terhadap anak atau persetubuhan terhadap anak diatur dalam Pasal 423 RUU KUHP yang menyebutkan, setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan, menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga anak, untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Apabila melihat konstruksi yang dibangun oleh tim perumus RUU KUHP, maka terlihat delik perbuatan cabul terhadap anak sebagaimana dalam RUU KUHP itu merupakan delik biasa dan bukan delik aduan.

“Delik perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak masuk dalam ke ranah publik dan bukan ranah privat,” kata Beni dalam persidangan secara daring 

Hal tersebut, terang Beni, dapat dilihat dari Pasal 76E juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Pasal 76E UU Perlindungan Anak berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.” 

Dikatakan Beni, dari delik pencabulan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76E juncto Pasal 82 UU Perlindungan Anak tersrbut, dikategorikan sebagai delik biasa, bukan delik aduan. Demikian halnya perbuatan cabul terhadap anak atau persetubuhan terhadap anak yang diatur dalam Pasal 423 RUU KUHP yang berbunyi, “Setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga anak untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.” 

Sehingga, menurut Beni, perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 432 RUU KUHP merupakan delik biasa dan bukan delik aduan. Hal ini menandakan betapa berbahayanya perbuatan cabul terhadap anak dan masuk ke dalam ranah publik, bukan ranah privat.

***

Sebagaimana diketahui, permohonan uji materi KUHP ini diajukan oleh dua Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) menguji Pasal 288 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 293 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Leonardo Siahaan dan Fransicus Arian Sinaga menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon I menilai ketentuan Pasal 293 ayat (2) dan Pasal 288 multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum yang jelas. Dia mengatakan hal ini meresahkan dan menimbulkan kekhawatiran para Pemohon yang memiliki adik kandung dan saudara perempuan, yang rentan menjadi korban percabulan di bawah umur dan sebagai korban kekerasan dalam perkawinan sehingga tidak ada implementasi kepastian perlindungan hukum.

Para Pemohon merasa tidak adanya kejelasan Pasal 288 KUHP mengenai batasan umur yang dimaksud oleh ketentuan a quo. Menurut para Pemohon, seharusnya Pasal 288 KUHP memberikan penjelasan yang jelas usia dari yang dimaksud “belum waktunya untuk dikawini. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan perdebatan seperti apa “belum waktunya untuk dikawini” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP.

Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah Pasal 293 KUHP dan 288 KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” dan “belum waktunya untuk dikawini” tidak mempunyai kekuatan mengikat. Pemohon pun meminta kepada Majelis Hakim menyatakan Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional).

Sumber : MAHKAMAH KONSTITUSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *